Rabu, 12 April 2017

HADIST PEMINDAHAN KEPEMILIKAN (WARISAN)




HADIS PEMINDAHAN KEPEMILIKAN (WARISAN)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ
 تَرَكَ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a Nabi SAW bersabda : “ barang siapa yang meninggalkan harta warisan menjadi milik keluarganya dan siapa yang meninggalkan ahli waris yang fakir menjadi tanggung jawabku.”
            Sebelum kita membahas tentang isi kandungan dari hadis tentang pemindahan kepemilikan (warisan) akan lebih mudah jika kita mengetahui apa itu warisan. Warisan dalam bahasa Arab adalah bentuk masdhar dari waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang ke seseorang yang lain, atau dari suatu kaum ke kaum yang lain. Sedangkan menurut istilah yaitu berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang sudah meninggal kepada keluarganya (ahli warisnya) yang masih hidup, baik yang ditinggalkan berupa harta (uang), tanah, bangunan, atau apa saja yang merupakan hak milik secara legal.
Analisis Hadis :
Didalam hadis “ barang siapa yang meninggalkan harta warisan menjadi milik keluarganya ” Rasulullah SAW menegaskan kepada kaum muslimin bahwasanya harta peninggalan yang ada dari orang yang sudah meninggal dunia adalah mutlak milik keluarganya, yang dalam artian adalah benar-benar orang yang memiliki hak atas kepemilikan, atau orang yang berhak untuk menerima warisan tersebut. Sedangkan “ siapa yang meninggalkan ahli waris yang fakir menjadi tanggungjawabku ” maksudnya adalah apabila seorang ahli waris yang ketika ditinggalkan mati dalam keadaan fakir, miskin, atau ketika mawaris (pewaris) meninggal tidak meninggalkan apa-apa untuk ahli warisnya, Rasulullah SAW menyatakan bahwa hal itu menjadi tanggungjawabnya. Sebuah contoh yang patut dijadikan teladan ialah mengingat banyaknya anak-anak yatim, janda-janda miskin yang ditinggalkan menjadi kesulitan dan harus bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
Artinya : Diriwayatkan dari Usamah ibn Zaid r.a “ orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim.”
Analisis Hadis :
Dalam konteks hadis ini kita dapat mengingat kembali pada masa Rasulullah SAW yaitu ketika adanya permusuhan antara kaum kafir quraisy, ketika kaum kafir quraisy merampas harta orang-orang Islam yang hijrah ke Madinah. Beberapa dari mereka ingin mendapatkan warisan dari sebagian umat Islam. Perbedaan agama merupakan salah satu dari penghalang memperoleh harta warisan. Orang muslim tidak diperbolehkan menerima ataupun memberi harta warisan kepada non muslim baik itu termasuk didalam anggota keluarga atau kerabatnya, begitu pula sebaliknya. Pewarisan hanya bisa berlaku diantara orang-orang muslim. Didalam hadis ini dijelaskan bahwa “ orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir “ jelas ditegaskan bahwa hadis ini melarang adanya pewarisan antara orang Islam dengan orang kafir. Dari muslim ke non-muslim dan dari non-muslim ke muslim. Jelas dan tegas melarang pewarisan beda agama. Permasalahan semestinya yang terpenting ialah dalam prinsip pemihakan pada orang-orang yang secara tingkat perekonomiannya masih lemah dan memang membutuhkan. Didasarkan pada prinsip ini, seharusnya pendistribusian harta melalui warisan atau wasiat diprioritaskan kepada mereka-mereka dari garis keluarga yang paling membutuhkan, dan dalam posisi yang miskin dan lemah. 




           
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْقَاتِلُ لَا يَرِثُ
Artinya : Dari Abu Hurairah Nabi Muhammad SAW bersabda “ pembunuh tidak boleh mewarisi.”

Analisis Hadis :
Berdasarkan hadis diatas “ pembunuh tidak boleh mewarisi “ maksudnya adalah apabila seseorang membunuh mawaris maka pembunuh tersebut tidak boleh atau tidak mendapatkan hak atas warisan dari orang yang dibunuhnya. Sebab selain budak, perbedaan agama, dan pembunuhan merupakan beberapa kategori penyebab penghalang seseorang dalam menerima harta warisan. Alasan-alasan lainnya diantaranya bahwa pembunuhan merupakan pemutusan hubungan silaturahmi, terputusnya silaturahmi maka terputuslah pula hukum yang menetapkan kewarisan. Pembunuhan merupakan suatu kejahatan atau kemaksiatan, sedangkan hak kewarisan merupakan suatu nikmat yang diberikan. Maksiat tidak boleh digunakan untuk mendatangkan nikmat.

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ مَوْلًى لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَعَ مِنْ عِذْقِ نَخْلَةٍ فَمَاتَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا هَلْ لَهُ مِنْ وَارِثٍ قَالُوا لَا قَالَ فَادْفَعُوهُ إِلَى بَعْضِ أَهْلِ الْقَرْيَةِ
Artinya : “ Dari Aisyah, seseorang maula Rasulullah Saw. jatuh dari pohon kurma lalu ia meninggal. Maka Rasulullah mengatakan kepada orang banyak : “ cari tahu apakah dia mempunyai ahli waris ”. Mereka mengatakan : “ Bahwa ia tidak memiliki ahli waris “. Rasulullah Saw. bersabda : “ Berikanlah hartanya kepada sebagian penduduk kampung yang berhak menerima pemberian.”
Analisis Hadis :
            Didalam kehidupan ini tentunya ada sebagian atau beberapa orang yang tidak memiliki keluarga, kerabat yang dekat. Contohnya seperti tidak memiliki seorang anak, orang tua yang sudah meninggal terlebih dahulu atau bahkan sama sekali tidak memiliki saudara. Islam dalam konteks seperti ini juga telah memberikan keringanan, sudah mengatur mengenai pembagian harta warisan bagi seseorang pewaris yang tidak mempunyai ahli waris. Menurut hadis diatas apabila ada seorang pewaris yang meninggal kemudian ia tidak memiliki ahli waris, tidak ada yang berhak untuk mendapatkan harta yang ditinggalkannya, maka untuk menjaga harta tersebut Islam tidak  membenarkan adanya penyia-nyiaan terhadap harta. Orang yang tidak memiliki kerabat dekat atau jauh, jika ia meninggal hartanya akan diserahkan ke baitul mal. Dimungkinkan pada masa Rasulullah Saw belum ada lembaga seperti baitul mal, Rasulullah memerintahkan agar menyerahkan harta tersebut kepada sebagian penduduk disekitar ia tinggal yang benar-benar membutuhkan pemberian harta tersebut.
Kesimpulan :
Dari keempat hadis tersebut dapat saya simpulkan bahwa didalam hadis tersebut terdapat beberapa ketentuan yaitu diantaranya adalah apabila seseorang meninggal dunia maka secara mutlak hak atas harta yang ditinggalkan itu menjadi milik keluarganya, dan apabila pewaris meninggal tanpa meninggalkan apapun untuk ahli warisnya, maka Rasulullah menjelaskan bahwa itu menjadi tanggungjawabnya. Ketentuan yang kedua bahwasanya orang muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir begitu juga sebaliknya. Sebab perbedaan agama merupakan salah satu penghalang memperoleh harta warisan. Pewarisan hanya bisa berlaku diantara orang-orang muslim. Ketentuan yang ketiga yaitu, “pembunuh tidak boleh mewarisi“ jelas bahwa selain pembunuhan juga merupakan penghalang untuk memperoleh hak atas warisan, pembunuhan juga merupakan suatu kejahatan atau kemaksiatan, sedangkan hak warisan adalah suatu kenikmatan. Dan didalam islam tidak boleh melakukan kemaksiatan demi mendapatkan kenikmatan. Dan ketentuan yang terkahir yaitu apabila seorang pewaris yang meninggal kemudian ia tidak memiliki sanak saudara baik itu dekat ataupun jauh didalam hadis yang tersebut diatas bahwasannya demi menjaga harta yang ditinggalkannya tersebut maka harta tersebut diserahkan ke baitul mal, atau pada saat masa Rasulullah, harta peninggalan dari pewaris yang tidak memiliki ahli waris dibagikan kepada sebagian penduduk kampung yang memang benar-benar membutuhkannya. Kita sebagai muslim tentunya harus mengerti bagaimana ketentuan-ketentuan pemindahan kepemilikan (warisan) agar kita mampu mengaplikasikannya di dalam kehidupan kita sehari-hari. 
           

PENGECUALIAN DALAM QAWAID FIQHIYAH



PENGECUALIAN DALAM QAWAID FIQHIYAH
Qawa’id merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad Warson menambahkan bahwa, kaidah bisa seperti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan qaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan surat An-Nahl ayat 26 : “ Allah akan mengahancurkan rumah-rumah mereka dari pondasinya. ”
Adapun pengertian qawa’id fiqhiyah secara istilah terdapat berbagai definisi, dua diantaranya yang menjadi pendapat populer :
“Hukum syara’ tentang peristiwa yang bersifat mayoritas, yang darinya dapat dikenali hukum berbagai peristiwa yang masuk kedalam ruang lingkupnya.”
“Dasar fiqih yang bersifat universal, mengandung hukum-hukum syara’ yang bersifat umum dalam berbagai bab tentang peristiwa-peristiwa yang masuk kedalam ruang lingkupnya.”
Berdasarkan definisi-definisi diatas maka ulama terbagi dua dalam memaknai qawa’id fiqhiyah berkenaan dengan perbedaan mereka dalam memandang keberlakuannya, apakah bersifat kulii (menyeluruh/universal) atau aghlabi (kebanyakan).
Bagi ulama yang memandang bahwa  qawa’id fiqhiyah bersifat aghlabi, mereka beralasan bahwa realitanya memang seluruh qawa’id fiqhiyah memiliki pengecualian, sehingga penyebutan kulli terhadap qawa’id fiqhiyah kurang tepat. Sedang bagi ulama yang memandang qawa’id fiqhiyah sebagai bersifat kulli, mereka beralasan bahwa pada kenyataan pengecualian yang terdapat pada qawa’id fiqhiyah tidaklah banyak. Di samping itu, mereka juga beralasan bahwa pengecualian (al-istisna’) tidak memiliki hukum sehingga tidak mengurangi sifat kulli pada qawa’id fiqhiyah.
Pembagian kaidah fiqh, kaidah fiqh dapat dibedakan dari tiga segi, yaitu fungsi, muntasnayat dan kualitas.
Dari segi muntasnayat, sumber pengecualian, kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu : tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Kaidah fiqh yang tidak memiliki pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Contohnya :
“ Bukti dibebankan kepada kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat ”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama di ikhtilafkan oleh ulama. 
Jadi pada dasarnya kedua kelompok ulama di atas sepakat tentang adanya istisna’ (pengecualian) dalam penerapan qawa’id fiqhiyah, hanya saja mereka berbbeda pendapat berkenaan dengan pengaruh istisna’ tersebut terhadap keuniversalan qawa’id fiqhiyah.
Dengan demikian qawa’id fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang bersifat umum, meliputi sejumlah masalah fiqh, dan melaluinya dapat diketahui sejumlah masalah yang berada dalam cakupannya. (Andiko, 2011 hal 5-7)
Daftar Pustaka :
Andiko, Toha, Ilmu Qawa’id Fiqhiyah Panduan Praktis dalam Merespon Problematika Hukum Islam Kontemporer,(Yogyakarta: Teras,2011)


Minggu, 02 April 2017

QAWA'ID FIQHIYAH UMUM



QAWAID FIQHIYAH UMUM
Didalam Dictionary of Modern Written Arabic, karya Milton Cowan kata qa’idah atau jama’nya qawa’id secara literal berarti asas, landasan, dasar, pondasi suatu bangunan atau ajaran agama dan sebagainya. Dalam pengertian yang lebih khas, qa’idah juga dapat bermkna ajaran, garis panduan, formula, pola, atau metode. Qa’idah memiliki makna yang sama dengan asas atau prinsip yang mendasari suatu bangunan, agama atau yang semisalnya. Dari sisi pengertian menurut ilmu fiqh, Nadwi (1991) dan juga al Jurjani (Dzajuli, 2006) mendefinisikan qa’idah sebagai aturan umum atau universal yang dapat diterapkan untuk semua yang bersifat khusus atau bagian bagiannya. Sedang dalam pandangan para fuqaha yang lain qa’idah adalah aturan umum yang mencakup sebagian besar dari bagian bagiannya. Mukhtar dkk menyimpulkan qa’idah sebagai aturan umum yang diturunkan dari hukum hukum furu’ yang sejenis dan jumlahnya cukup banyak. Berdasarkan penelitian terhadap kitab kitab dan riwayat hidup penyusunnya, aturan fiqih dalam bentuk qa’idah ini dapat tersusun melalui suatu proses yang panjang dan tidak terbentuk sekaligus sebagai sebuah bangunan pengetahuan tentang qa’idah sekaligus, melainkan secara bertahap. Menurut Jazuli sebelum al Karkhi dari mazhab Hanafi, sebelumnya sudah ada pengumpulan qa’idah namun nampaknya tidak tersusun menjadi karya sistematis, oleh seorang ulama mazhab Hanafi  lainnya yaitu, Abu Tahir ad-Dibasi, sebanyak 17 qa’idah telah disusun olehnya, yang kemudian juga disampaikan oleh ulama mazhab as-Syafii yaitu Abu Said al-Hawari. Dari sumber ad-Dibasi, al-Karkhi mengembangkannya lebih lanjut menjadi 36 qa’idah. Qawa’id disusun berdasarkan materi materi fiqh untuk selanjutnya diverifikasi untuk mendapatkan qaw’aid yang lebih sempurna, untuk kemudian tersusun kembali fiqh sebagai kelengkapan dari khazanah fiqh yang telah ada kemudian ketentuan ketentuan hukumnya menjadi hasil akhir dari proses tersebut.
Posisi qawa’id fiqhiyah dalam syariah islam, proses penerapan aturan syar’i dalam qa’idah menurut Mahmasani sama dengan penerapan metodologi qiyas dalam memilih aturan yang tepat dalam ushul fiqh. Dalam penerapannya Jazuli mengklasifikasikan qawa’id dalam enam bidang, yaitu ibadah mahdhah (khusus), ahwal as-syahshiyyah, muamalah, jinayah, siyasah, dan fiqh qadha. Namun demikian penerapan qa’idah untuk bidang mu’amalah tidak banyak menyinggung masalah penerapan untuk perekonomian modern secara umum. Disini keberadaan qawa’id fiqhiyah menjadi lebih jelas maknanya. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan (Muqorrobin, 2007: 198-214)


Daftar Pustaka:
Muqorobin Masyhudi,”Qawaid Fiqhiyah Sebagai Landasan Perilaku Ekonomi Umat Islam: Suatu Kajian Teoritik”, dalam Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, Vol. 8, No. 2, Oktober 2007

DEFINISI DAN DASAR HUKUM JUAL BELI



FIQIH MU’AMALAH
DEFINISI DAN DASAR HUKUM JUAL BELI
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah: Fiqih Mu’amalah
Dosen Pengampu :Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

Disusun oleh:
Ulfa Yunita Sari (1502100314)

Kelas C
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN) JURAI SIWO METRO
2016


A.    PENDAHULUAN  

Jual beli (bisnis) dimasyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang dilakukan setiap waktu oleh semua manusia. Tetapi jual beli yang benar menurut hukum Islam belum tentu semua orang muslim melaksanakannya. Bahkan ada pula yang tidak tahu sama sekali tentang ketentutan ketentuan yang di tetapkan oleh hukum Islam dalam hal jual beli (bisnis).
 Di dalam al-Qur’an dan Hadist yang merupakan sumber hukum Islam banyak memberikan contoh atau mengatur bisnis yang benar menurut Islam. Bukan hanya untuk penjual saja tetapi juga untuk pembeli. Sekarang ini lebih banyak penjual yang lebih mengutamakan keuntungan individu tanpa berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum Islam. Mereka cuma mencari keuntungan duniawi saja tanpa mengharapkan barokah kerja dari apa yang sudah dikerjakan.
Jual beli merupakan salah satu aktivitas bisnis yang sudah berlangsung cuku  lama dalam masyarakat. Namun demikian, tidak ada catatan yang pasti kapan awal mulanya aktivitas bisnis secara formal. Ketentuan yang jelas ada dalam masyarakat adalah jual beli telah mengalami perkembangan dari pola tradisional sampai pada pola modern. Dahulu, masyarakat melakukan aktivitas jual beli dalam bentuk tukar menukar barang dengan barang lain. Misalnya, padi ditukar dengan jagung, atau ditukar dengan garam, bawang dan lain-lain. Di daerah-daerah suku terasing atau pedalaman, praktek akvititas bisnis seperti ini masih berlaku.
Dalam Islam, ada beberapa jenis jual beli yang dibolehkan. Di antaranya adalah jual beli salam (Bay’ as-Salam). Jual beli ini dilakukan dengan cara memesan barang lebih dahulu dengan memberikan uang muka. Pelunasannya dilakukan oleh pembeli setelah barang pesanan diterima secara penuh sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Bentuk lainnya adalah Bay’ al-Muqayyadah, (barter) yaitu jual beli dengan cara menukar satu barang dengan barang lain. Misalnya, menukar beras dengan gandum, atau menukar rotan dengan minyak tanah dan lain-lain.

B.    DEFINISI JUAL BELI

Menurut M. Ali Hasan sebagaimana dikutip oleh Syaifullah M.S., “Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam”, (Cet. Ke-11; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h.113. Jual beli dalam bahasa Arab berasal dari kata ( البیع ) yang artinya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain). Kata ( البیع ) dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata : الشراء dengan demikian kata ( البیع ) berarti kata jual dan sekaligus berarti kata “beli”.[1] Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta.[2]
Adapun secara terminologis, maka ia berarti transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Sengaja diberi pengecualian “fasilitas” dan “kenikmatan”, agar tidak termasuk didalamnya penyewaan dan pernikahan.[3] Secara terminologi terdapat beberapa definisi para ulama diantaranya oleh ulama Hanafiyah memberi pengertian dengan “saling menukarkan harta dengan harta melalui cara tertentu”, atau dengan makna tukar menukar sesuatu yang diingini dengan sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa makna khusus pada pengertian pertama tadi adalah ijab dan kabul, atau juga bisa melalui saling memberikan barang dan menetapkan harga antara pembeli dan penjual.[4]
Pengertian jual beli menurut bisnis syariah adalah tukar menukar barang antara dua orang atau lebih dengan dasar suka sama suka, untuk saling memiliki. Dengan jual beli, penjual berhak memiliki uang secara sah. Pihak pembeli berhak memiliki barang yang dia terima dari penjual. Kepemilikan masingmasing pihak dilindungi oleh hukum.[5]

Menurut Wahbah al-Zuhaili sebagaimana dikutip oleh Syaifullah M.S.,”al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh”, Jilid IV, (Beirut: Dāral-Fikr, 1989), h. 345. Sedangkan pada pengertian kedua menjelaskan bahwa harta yang diperjualbelikan itu harus bermanfaat bagi manusia, seperti menjual bangkai, minuman keras dan darah tidak dibenarkan.[6]
Sayid Sabiq mendefinisikan jual beli dengan arti saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka. Sementara Imam al-Nawāwī menjelaskan bahwa jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik. Defenisi ini tidak jauh berbeda dengan apa yang didefinisikan oleh Abū Qudāmah yaitu saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Sementara menurut Hasbi ash-Shiddieqy jual beli adalah akad yang terdiri atas penukaran harta dengan harta lain, maka terjadilah penukaran dengan milik tetap.[7]
Sedangkan menurut istilah yang dimaksud jual beli atau bisnis adalah:
a.    Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang denga jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain ataas dasar saling merelakan (Idris, 1986 :5).
b.    Menurut Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, “Menurut syara, pengertian jual beli yang paling tepat ialah memiliki sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara, sekedar memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan syara untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui pembayaran yang berupa uang” (al- Ghazzi, t.th:30).
c.      Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul al- Akhyar
“Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf)
dengan ijab qobul, dengan cara yang sesuai dengan syara”.
(Taqiyuddin, t.th:329).
d.     Syeikh Zakaria al Anshari dalam kitabnya fath Al- Wahab
“Tukar-menukar benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan)”. (Zakariya, t.th:157).

e.     Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitabnya Fiqh Sunnah “Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang diperbolehkan”.
f.      Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang jual beli (bisnis), diantaranya; ulamak Hanafiyah “ Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang di bolehkan) syara’ yang disepakati”. Menurut Imam nawawi dalam al majmu’ mengatakan “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik atas dasar saling merelakan.[8]
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dann pihak yang lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandun hal-hal antara lain :
1)    Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
2)    Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dar kedua belah pihak.
3)    Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
4)    Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memiliki sesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.[9]


C.   DASAR HUKUM JUAL BELI
 Hukum asal bai' adalah mubah, namun terkadang hukumnya bisa berubah menjadi wajib, haram, sunat dan makruh tergantung situasi dan kondis berdasarkan asas maslahat. [10]

a.    Dasar dalam Al-quran
Dasar hukum yang berasal dari Al-Quran antara lain adalah sebagai berikut:

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah: 275)

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (Al-Baqarah:198)
“Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu saling mengharamkan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka antara kamu”(an-Nisaa’:29)
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli,”(Al-Baqarah: 282)

b.    Dasar dalam Al sunnah
Dasar hukum yang berasal dari Al-Sunnah antara lain adalah sebagai berikut:
1.    Hadis Rasulullah Saw. Yang diriwayatkan Rifa’ah  bin Rafi al Bazar dan Hakim:
“Rasulullah Saw. Bersabda ketika ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan yang paling baik: Rasulullah ketika itu menjawab: pekerjaan yang dilakukan dengan tangan seseorang sendiri dan setiap jual beli yang diberkati (jual beli yang jujur tanpa diiringi kecurangan)”.
2.    Rasulullah Saw. Bersabda:
“Rasulullah Saw. bersabda: sesungguhnya jual beli itu harus atas dasar saling merelakan”
3.    Hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Sufyan dari Abu Hamzah dari Hasan dari Abi S’aid:
Dari Sufyan dari Abu Hamzah dari Hasan dari Abi S’aid dari Nabi Saw. Bersabda: pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, shiddiqin dan syuhada.” [11]

c.    Dasar dalam Ijma’
Kaum muslimin telah sepakat dari dahulu sampai sekarang tentang kebolehan hukum jual beli. Oleh karena itu, hal ini merupakan bentuk ijma’ umat, karena tidak ada seorangpun yang menantangnya. [12]
Sementara legitimasi dari ijma’ adalah ijma’ ulama dari berbagai kalangan mazhab telah bersepakat akan disyariatkannya dan dihalalkannya jual beli. Jual beli sebagai mu’amalah melalui sistem barter telah ada sejak zaman dahulu. Islam datang memberi legitimasi dam memberi batasan dan aturan agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kezaliman atau tindakan yang dapat merugikan salah satu pihak. Selain itu, dalam konteks Indonesia juga ada legitimasi dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 56-115.[13]
Dari Su’aib ar Rumi r.a., bahwa Rasulullah bersabda: “Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkatan yaitu; jual beli secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk jual beli. (HR. Ibnu Majjah)

Dalam firman Allah dan hadis tersebuut jelas bahwa  jual beli itu dihalalkan dan tidak perlu diragukan lagi asalkan transaksi jual beli yang dilakukan tidak ada unsur pemaksaan, sementara riba itu juga jelas diharamkan.[14]

Jual beli merupakan usaha yang baik untuk mencari rizki. Jual beli menurut bahasa artinya : memberikan sesuatu karena ada pemberian (imbalan yang tertentu). Menurut istilah artinya : pemberian harta karena menerima harta dengan penyerahan dan penerimaan (ijab qabul) dengan cara yang sesuai (baik), dan diterima kedua pihak.

Jual beli sah jika memenuhi rukunnya yakni :
1. Orang yang menjual
2. Orang yang membeli
3. Serah-terima (Ijab – Qabul)
4. Ada barangnya.

Jual beli dengan memenuhi rukun jual beli diatas memang dianggap sah, tapi bagaimana jual beli yang merugikan konsumennya dikarenakan pedagang (penjual) telah melakukan kecurangan terhadap barang yang dijualnya.[15]







DAFTAR PUSTAKA

Al Subaily Yusuf, ”Pengantar Fiqih Muamalat dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Modern”, dalam jurnal materi Fiqh Perbankan Syariah

Al-Mushlih Abdullah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam,(Jakarta: Darul Haq,2004)

Darmawati, “Perilaku Jual Beli Di Kalangan Pedagang Kaki Lima Dalam Perspektif Etika Bisnis Islam” dalam Jurnal  Fenomena Vol. IV No. 2, 2012.

Hidayat Enang, Fiqih Jual Beli,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015)

Ismail, Perbankan Syariah,(Jakarta: Kencana, 2011)

M. Ali Hasan sebagaimana dikutip oleh Syaifullah M.S.,“Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, dalam Jurnal Studi Islamika,Vol.11,No.2,Desember 2014

Mujiatun Siti.Jual Beli Dalam Perspektif Islam”, dalam Jurnal Jurnal Riset Akuntasi Dan Bisnis Vol 13 No . 2 September 2013

Mustofa Imam, Fiqih Mu’amalah Kontemporer,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016)

Nizarudin, Fiqih Muamalah,(Yogyakarta: Idea press,2013)

Shobirin,”Jual Beli Dalam Pandangan Islam”, dalam Jurnal Jual Beli Dalam Pandangan Islam Bisnis, Vol. 3, No. 2, Desember 2015



[1] M. Ali Hasan sebagaimana dikutip oleh Syaifullah M.S.,“Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, dalam Jurnal Studi Islamika,Vol.11,No.2,Desember 2014: (371-387) h. 373
[2] Abdullah Al-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam,(Jakarta: Darul Haq,2004) hal 87
[3] Ibid, h. 88
[4] M. Ali Hasan sebagaimana dikutip oleh Syaifullah, ”Berbagai Macam..., h.373
[5] Siti Mujiatun.Jual Beli Dalam Perspektif Islam”, dalam Jurnal Riset Akuntasi Dan Bisnis Vol 13 No . 2 September 2013: (202-216) h.204
[6] Wahbah al-Zuhaili sebagaimana dikutip oleh Syaifullah,” al-Fiqh al-Islām...,h.373
[7] Ibid, h.373
[8] Shobirin,”Jual Beli Dalam Pandangan Islam”, dalam Jurnal Jual Beli Dalam Pandangan Islam Bisnis, Vol. 3, No. 2, Desember 2015,(241-261), h. 241-242
[9] Nizarudin, Fiqih Muamalah,(Yogyakarta: Idea press,2013), h.90-91
[10] Yusuf Al Subaily,”Pengantar Fiqih Muamalat dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Modern”, dalam jurnal materi Fiqh Perbankan Syariah, hal  4
[11] Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), hal 27
[12] Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hal 15
[13] Imam Mustofa, fiqih Mu’amalah...,h. 25
[14] Ismail, Perbankan Syariah,(Jakarta: Kencana, 2011), hal 136
[15] Darmawati, “Perilaku Jual Beli Di Kalangan Pedagang Kaki Lima Dalam Perspektif Etika Bisnis Islam” dalam Jurnal  Fenomena Vol. IV No. 2, 2012,(127-138), h.131